PROFIL DESA BINAAN  JUNREJO
SEBAGAI PILOT PROJEK PENERAPAN UJICOBA MODEL INKUBATOR EKSTERNAL 
 

1. Kondisi dan Potensi Desa Junrejo

Desa Junrejo merupakan desa sentra industri kerajinan kayu, salah satu dari tujuh wilayah desa yang terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Administratif Batu Kabupaten Malang. Junrejo terletak 3 Km di sebelah timur Kota Administratif Batu, dan berjarak 15 Km dari kota Malang. Posisi lokasi desa Junrejo sangat strategis sebagai wilayah pengembangan, di samping sebagai kota kecamatan Junrejo, Desa Junrejo terletak pada sisi jalur utama jalan Malang-Batu. Kondisi ini merupakan potensi yang sangat menguntungkan karena dekat dengan sarana dan prasarana transportasi utama. Wilayah Desa Junrejo dibatasi oleh :

Wilayah desa Junrejo merupakan wilayah terluas dibanding desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Junrejo, yakni seluas 434,705 Ha pada ketinggian 650 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 2000 - 3000 mm/tahun. Pola penggunaan tanah di wilayah desa Junrejo didominasi oleh penggunaan pertanian secara terinci sebagai berikut :

Jumlah penduduk desa Junrejo pada akhir tahun 1995 sebanyak 6724 Jiwa (1567 Kepala Keluarga), dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 1 %. Sebagian besar (43,1 %) penduduk desa mempunyai mata pencaharian sebagai petani, sedangkan yang berkecimpung di bidang perindustrian sebesar 15 %.

Dari data tersebut ternyata usia produktif penduduk Desa Junrejo sebanyak 3300 jiwa atau sebanyak 49,1 % dari 6.724 jiwa, sedangkan usia < 10 tahun sebanyak 895 jiwa atau 35,4 persen. Dengan demikian potensi penduduk ini merupakan potensi yang sangat positif bagi pengembangan usaha-usaha produktif. Kegiatan usaha produktif non pertanian yang menonjol dilakukan di desa Junrejo adalah sub sektor industri kerajinan kayu dengan produk utama peralatan dapur. Dari data isian potensi desa terungkap bahwa nilai produksi sub sektor ini cukup besar yakni sebesar Rp. 457.977.000,- pada tahun 1994/1995. Dengan potensi industri kerajinan kayu yang relatif besar maka desa Junrejo telah di tetapkan sebagi sentra industri kecil kerajinan kayu (Rencana Pembangunan Wilayah Sentra Industri Kecil Kerajinan Kayu, Bappeda Kab. Malang 1991/1992).

[Ke atas]



 

2. Perkembangan Industri Kerajinan Kayu Desa Junrejo

Usaha kerajinan kayu di desa Junrejo sudah dilakukan masyarakat sejak + tahun 1960 an, akan tetapi masih mengalami pasang surut karena adanya permasalahan bahan baku. Karena usaha yang semakin meningkat dengan adanya kendala keterbatasan bahan baku dari hutan rakyat, maka kesulitan bahan baku menjadi kendala utama. Sehingga sekitar tahun 1980 an industri kerajinan kayu di desa Junrejo mengalami kesulitan bahan baku yang cukup parah, pada waktu itu usaha kerajinan kayu identik dengan pencurian kayu di hutan milik perhutani, sehingga sering terjadi kesalah pahaman antara pengrajin dengan petugas perhutani.

Sekitar tahun 1984 produk kerajinan berkembang tidak hanya memproduksi kotak obat tetapi berkembang menghasilkan produk-produk peralatan dapur yang dikembangkan sampai sekarang. Di samping produk peralatan dapur beberapa pengrajin ada pula yang mengembangkan produknya untuk memproduksi sovenir dan pigura foto/gambar. Permasalahan bahan baku masih mewarnai perkembangan pengrajin kayu di desa Junrejo, harga kayu yang sah dari Perhutani dibanding dengan harga kayu ilegal sebenarnya hampir sama. Tetapi pengrajin kecil mempunyai kendala birokrasi untuk dapat mengakses Perhutani, karena Perhutani hanya melayani penjualan dalam partai besar. Pada tahun 1987 ada peraturan bahwa pembelian kayu harus badan hukum yang mempuniai SIUP/NPWP atau koperasi hal ini yang sangat menyulitkan para pengrajin.

Peningkatan aktifitas industri kerajinan yang telah mampu mendorong laju perekonomian masyarakat desa Junrejo di satu sisi telah pula menjadi masalah bagi kelestarian lingkungan manakala pengunaan bahan baku tidak melalui prosedur yang semestinya. Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah melalui kebijaksanaan pengembangan wilayah industri kecil kerajinan kayu di desa Junrejo, dengan kebijaksanaan bapak angkat maka Perum Perhutani (Kesatuan Pemangkuan Hutan Malang) sebagai bapak angkat perajin kayu desa Junrejo. Melalui pertemuan dengan para instansi terkait dan muspika akhirnya pada tahun 1989 dengan membentuk kelompok pengajin, pihak Perhutani dapat memberikan jaminan pasokan bahan baku. Perhutani disini berfungsi sebagai bapak angkat, telah memberikan kepastian/jaminan bagi pengrajin kayu akan tersedianya bahan baku berupa kayu pinus dan Agatis selama persediaan memungkinkan. Praktis sejak saat itu perajin desa Junrejo ada kepastian usaha, dalam hal ini kendala bahan baku dapat di atasi.

Perkembangan jumlah unit usaha industri kerajinan kayu di desa Junrejo relatif pesat sejalan dengan mulai ditemukannya solusi pengadaan bahan baku serta adanya political will dari pemerintah untuk ikut menumbuh kembangkan usaha kecil. Dari hasil penelitian didapati fakta bahwa di desa Junrejo sampai tahun 1996 jumlah unit usaha industri kerajinan kayu sebanyak 66 unit usaha. Gambaran perkembangan unit usaha ini dari tahun ketahun selama periode tahun 1973 sampai dengan tahun 1995 dapat terlihat pada tabel 3-3, tentang Pertambahan unit usaha industri kerajinan kayu di desa Junrejo.

Peningkatan jumlah unit ini tidak bermakna bahwa usaha industri kerajinan kayu di desa Junrejo tidak menghadapi masalah pengembangan, tetapi hanya menunjukkan trend perkembangan dengan adanya kepastian berusaha di sub sektor industri kerajinan, karena upaya-upaya pengembangan melalui kebijaksanaan pemerintah banyak diluncirkan setelah tahun 1990-an. Dari data tersebut dapat dikelompokkan bahwa pengusaha yang mulai beroperasi sebelum ttahun 1980 sebanyak 12,1 %, antara 1980 dan tahun 1990 sebanyak 25,8 %, dan baru mulai berusaha setelah tahun 1990 sebanyak 62,1 %. Kelompok terbanyak ini (62,1 %) merupakan pengusaha pemula yang masih banyak menghadapi kendala usaha, yang masih memerlukan pembinaan dalam pengembangnnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari pengusaha pemula tersebut 68,3 % belum pernah mengikuti pelatihan. Kondisi ini menunjukkan pentingnya penanganan pembinaan dan pengembangan industri kerajinan kayu di desa Junrejo.

Masalah pengambangan industri kerajinan kayu sebenarnya tidak hanya terpenuhinya bahan baku akan tetapi masih banyak yang menjadi kendala pengembangan, antara lain ; (1) Modal usaha, (2) Produksi dan proses produksi, (3) Pemasaran, (4) Sarana dan Prasarana produksi, (5) Administrasi dan manajemen, da (6) Ketenagakerjaan. Permaslahan tersebut tentunya tidak semuanya dihadapi oleh tiap perajin, bahkan kadar permasalahan tersebut tidaklah sama. Beragamnya variasi permasalahan yang dihadapi perajin inilah yang menjadikan kendala bagi upaya penanganan pembinaan yang dilakukan oleh pemerinrah selama ini.

 
Upaya pengembangan industri kerajinan kayu di Desa Junrejo telah disusun dalam suatu Rencana Pembangunan Wilayah Sentra Industri Kecil Kerajinan Kayu oleh Bappeda Kabupaten Daerah Tingkat II Malang tahun 1991/1992. Akan tetapi seperti pola pembinaan yang lainnya pengembangan usaha kecil selalu dihadapkan pada berbagai kendala antara lain kendala Internal dan kendala Eksternal. Menurut A. Sidik Prawiranegara (1994), Dirjen Pembinaan Pengusaha Kecil kendala internal meliputi; kualitas sumberdaya manusia yang rendah, lemahnya peningkatan akses pasar dan pengembangan pangsa pasar, kurangnya kemampuan mengakses sumber-sumber permodalan, keterbatasan kemampuan penguasaan teknologi, lemahnya organisasi dan manajemen, serta terbatasnya jaringan usaha dengan pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Sedangkan kendala eksternal meliputi; akses sarana dan prasarana ekonomi yang belum memadai, Iklim usaha yang kurang kondusif, serta pembinaan yang belum terpadu.

Kendala internal dan kendala eksternal tersebut memang dirasakan oleh para perajin di desa Junrejo. Dari hasil penelitian dalam wawancara informal secara individual dengan para perajin dan hasil pengamatan tim peneliti, ada kecenderungan bahwa sebagaian besar pengrajin mempunyai harapan peningkatan produksi dari penembahan peralatan produksi 47 %, sedangkan yang merasakan perlunya penambahan modal usaha sebanyak 51,5%. Dari 4,5 % perajin yang telah mempunyai peralatan lengkap dari penggergajian kayu sampai proses finising dari pengamatan dan wawancara, ternyata kemampuan produksi baru sekitar 50 % dari kapasitas terpasang. Dari hasil pengamatan hal ini disebabkan oleh kurang terencananya proses produksi dengan baik, sehingga kurang adanya keterpaduan proses produksi pada tiap peralatan. Pengembangan produk dari segi design dan macam produk (diversifikasi produk) masih belum banyak dikembangkan mengingat adanya keterbatasan sumber daya manusia, modal, dan peralatan bagi perajin yang menekuni produk peralatan dapur.

Walaupun secara konseptual di desa Junrejo telah disusun suatu Rencana Pembangunan Wilayah Sentra industri Kerajinan Kayu, secara teknis keterpaduan pelaksanaan pembinaan oleh instansi terkait masih menghadapi berbagai kendala birokratis. Pelatihan yang dilakukan oleh instansi terkait ternyata masih belum mencakup semua stratifikasi lapisan kondisi pengrajin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 33,3% pengrajin yang pernah mengikuti pelatihan sedangkan 66,7 % belum pernah mengikuti pelatihan. Dari 33,3 % pengrajin yang pernah mengikuti pelatihan, ternyata 36,4 % nya pernah mengikuti lebih dari 2 kali pelatihan, ternyata kerangka analisis dalam diagram 2-3, halaman 20 terlihat dalam kondisi ini.

Walaupun demikian bukan berarti pembinaan yang pernah dilakukan tidak menunjukkan manfaat dan dampak positif perkembangan usaha kerajinan kau di desa Junrejo. Tetapi justru telah memberikan iklim usaha yang baik, pembinaan yang dilakukan Perhutani misalnya, melalui kebijaksanaan penyediaan bahan baku oleh bapak angkat sangat membantu pengrajin dalam hal kepastian terhadap pasokan bahan baku
 



 

[Ke atas]

3. Potensi dan Prospek Pengembangan Industri Kerajinan Kayu

Industri kerajinan kayu di desa Junrejo kotatip Batu Kabupaten Malang, merupakan sentra industri kerajinan yang sangat strategis untuk dikembangkan, kerena aktifitas produktif ini tidak saja mampu mengatasi permasalahan pengangguran di desa, bahkan banyak menyerap tenaga kerja dari daerah lain seperti, Demak, Kudus, Trenggalek, Blitar, Tulung Agung dan sebagainya. Secara ekonomis industri kerajinan kayu juga mampu memberikan sumbangan yang relatif besar bagi perekonomian desa.

Potensi historis

Secara historis cikal bakal industri kerajinan kayu yang telah mulai berkembang tahun 1960 an, merupakan potensi yang sangat menunjang bagi pengembangan desa Junrejo sebagai sentra Industri kerajinan kayu. Hal ini merupakan modal dasar yang sangat penting karena aktivitas industri kerajinan rakyat yang telah mengakar dapat dikembangkan sebagai potensi spesifik wilayah (desa) yang dapat dikembangkan sebagai produk andalan desa. Walaupun penduduk yang berkecimpung di bidang ini hanya sebesar 15 % akan tetapi aktifitas ini telah mampu mewarnai aktivitas kehidupan sehari-hari. Upaya pembinaan yang mampu mengangkat aktivitas kerajinan ini diharapkan akan mampu menjadi kebanggaan masyarakat desa, yang pada akhirnya akan semakin menggairahkan kegiatan perekonomian desa. Kemampuan dan kemauan yang telah berkembang lama merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan industri kerajinan. Hal ini merupakan faktor positif yang ada pada perilaku kehidupan masyarakat pedesaan.
 

Potensi ketenagakerjaan
 

Lokasi sentra industri kerajinan kayu yang terletak relatif jauh dari pusat kota, dengan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak merupakan potensi yang sangat strategis bagi upaya pengembangan wilayah desa Junrejo. Penyerapan tenaga kerja di pedesaan yang relatif besar di sisi lain juga sangat membantu untuk mengurangi terjadinya urbanisasi yang berlebih di daerah perkotaan, karena migrasi tidak saja menuju pusat-pusat kota tetapi juga menuju pusat pertumbuhan baru (sentra-sentra industri kerajinan). Desa Junrejo sebagai sentra pengembangan industri kerajinan kayu di kabupaten Malang seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Wilayah Sentra Industri Kecil Kerajinan Kayu (Bappeda Kab. Malang 1991/1992). Hal ini terungkap dari penelitian bahwa kemajuan kegiatan kerajinan di desa Junrejo telah banyak menarik tenaga kerja tidak hanya tenaga kerja dari desa Junrejo tetapi juga tenaga kerja dari Malang selatan, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Demak, Kudus dan sebagainya.

Dari hasil penelitian terungkap bahwa rata-rata penyerapan tenaga kerja pada industri kerajinan kayu di desa Junrejo adalah sebanyak 5 tenaga kerja, dari jumlah unit pengrajin sebanyak 66 unit (Potensi desa 1994/1995), pada sektor produksi telah mapu menyerap sebanyak 330 tenaga kerja. Hal ini jauh dari prediksi yang dibuat pada Rencana Pembangunan Wilayah Sentra Industri Kecil Kerajinan Kayu (RPWSI3K) tahun 1991/1992 tentang penyerapan tenaga kerja pada tahun 1996 sebanyak 213 orang (lihat tabel 3-5). Perkembangan penyerapan tenaga kerja ini merupakan potensi yang sangat positif, hal ini tidak berarti bahwa upaya pengembangan sentra industri ini tidak menghadapi kaendal yang serius untuk dapat berkembang pada era pasar bebas. Seperti dilontarkan oleh Ketua HIKSI, H. Nasmudin ARS, bahwasannya dalam menghadapi pasar bebas industri kecil di Indonesia hanya sebanyak 20 % yang sudah siap bersaing sedangkan sisanya (80 %) masih mempunyai masalah yang sangat serius dalam upaya pengembangannya.

 

Potensi pengembangan industri kerajinan kayu di desa Junrejo sebenarnya merupakan upaya strategis karena jumlah penyediaan tenaga kerja yang cukup banyak di sub sektor ini, serta merupakan langkah yang tepat untuk terwujudnya urbanisasi tersebar dengan meningkatkan aktifitas di pusat-pusat pertumbuhan (sentra-sentra industri kerajinan).
 

Potensi iklim usaha
 

Iklim usaha yang semakin kondusif bagi pengusaha industri kecil saat ini sangat menguntungkan penggrajin. Hal ini sangat erat kaitannya dengan political will dari pemerintah tentang upaya-upaya pengembangan industri kerajinan serta semakin meningkatnya aktifitas di sektor-sektor lain seperti transportasi, informasi dan komunikasi dan sebagainya. Dari data penelitian terungkap bahwa dari waktu ke waktu pertambahan usaha di bidang industri erajinan kayu di desa junrejo semakin meningkat yakni 12,1 % dimulai sebelum tahun 1980, dalam sepuluh tahun berikutnya bertambah 25,8 % sedangkan yang baru mulai setelah tahun 1990 an sebanyak 62,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi iklim usaha semakin meningkatkan gairah untuk melakukan kegiatan usaha ini. Dari data juga terlihat bahwa ada hubungan yang signifikan antara perkembangan usaha pada 3 dasawarsa terakhir dengan jumlah struktur permodalan pengrajin kayu di desa Junrejo, pada tingkat signifikansi 0.00915.
 

Hal ini tidak berarti kebijaksanaan pengembangan industri kecil yang dilontarkan oleh pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan seperti kebijaksanaan kemitraan, bapak angkat, sub kontrak serta kebijaksanaan kredit bagi usaha kecil sudah tidak ada kendala. Pada kenyataannya masih banyak kendala pembinaan bagi industri kecil. Seperti yang diungkapkan oleh H. Nasmudin A.R.S, Ketua Himpinan Industri Kecil Seluruh Indonesia (HIKSI) tentang pola kemitraan bahwa kalangan industri kecil masih belum menerima konsep kemitraan yang sebenarnya, sehingga dalam praktek ada kesan bahwa pengajin harus selalu mengalah dan memasok kepentingan pengusaha besar (JP. 19 November 1996). Nasmudin mencontohkan mekanisme pemasokan hasil produksi perajin ke toko-toko besar yang bergerak di bidang bisnis eceran dengan tidak meberikan bayaran secara kontan. Perlakuan menunda pembayaran dalam waktu dua sampai tiga bulan dengan alasan menunggu barang laku, hal ini menyiratkan bahwa industri kecil harus berkorban untuk kepentingan pengusaha besar. Padahal keuntungan yang diperoleh dari penjualan produk dibanding dengan keuntungan dari proses produksi masih lebih besar. Dalam hal ini seharusnya pengusaha besar seharusnya lebih memberikan perlindungan, kesempatan, pembinaan dan bantuan bagi kalangan industri kecil untuk menikmati kemitraan.
 

Kondisi tersebut hanya merupakan suatu ilustrasi salah satu kondisi praktek salah satu kebijaksanaan pengembangan industri kecil kerajinan. Hal ini bisa terjadi karena perajin tidak mempunyai bergaining position (kekuatan penawaran) yang cukup besar, yang diakibatkan karena adanya kendala-kendala internal dan ekternal. Pembinaan dan pengambangan yang secara kontinu diperlukan untuk membina dan membimbing pengusaha industri kerajinan kayu untuk dapat memanfaatkan potensi iklim usaha yang semakin menguntungkan. Salah satu kondisi yang menguntungkan bagi pengembangan industri kerajinan kayu di desa Junrejo adalah adanya kebijaksanaan Bapak angkat Perhutani (Kesatuan Pemangkuan Hutan Malang) yang sejak akhir tahun 1989 memberikan kepastian bahan baku bagi pengrajin kayu. Iklim dan kondisi ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal bagi upaya pengembangan aktifitas sub sektor kerajinan kayu.
 

Potensi pasar
 

Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan cukup tinggi akan membuka berbagai peluang usaha bagi pengusaha kecil disatu sisi, serta akan semakin meningkatnya daya beli masyarakat. Kondisi ini merupakan potensi pasar yang sangat baik bagi upaya pengembangan usaha. Dari hasil survey untuk penyusunan profil pengusaha kerajinan kayu di desa Junrejo terungkap bahwa jangkauan pasar produk kerajinan desa Junrejo sebenarnya sudah cukup luas, tidak hanya menjangkau kota-kota dalam propinsi Jawa Timur, bahkan sudah menjangkau pasar antar propinsi dan antar Pulau (Bali, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan). Bahkan dari segi kualitas sebenarnya produk dari beberapa pengrajin dapat menjangkau pasaran eksport. Potensi pasar yang sudah ada ini sebenarnya hal yang sangat menguntungkan, tetapi pada kenyataannya pasokan pasar tersebut tidak seluruhnya dilakukan langsung dari desa Junrejo. Bahkan ada jaringan pemasaran (antar pulau) yang mempunyai mata rantai yang sangat panjang hal ini sangat tidak menguntungkan bagi perajin itu sendiri. Karena keuntungan yang diterima di tingkat perajin disatu sisi masih kurang menjanjikan, serta ketepatan pembayaran dari pihak pembeli yang kurang lancar menjadikan kendala kontinuitas sirkulasi modal produksi.

Potensi pasar hasil produk kerajinan kayu masih sangat besar hal ini sangat dirasakan oleh para pengrajin, dari realitas pasokan hasil kerajinan yang dirasakan masih belum dapat memenuhinya. Hal ini banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kelancaran sirkulasi modal produksi yang kurang baik, keterbatasan peralatan, kemampuan managerial, keterbatasan modal serta bimbingan untuk lebih mengoptimalkan perkembangan produksi. Peningkatan nilai produksi yang telah dicapai pada tahun 1994/1995 yang mencapai angkas sebesar Rp. 457.977.000,- merupakan angka yang relatif tinggi dibandingkan dengan hasil perhitungan proyeksi penjualan produk Sentra Industri Kecil Kerajinan Kayu di Desa Junrejo yang dibuat oleh Dinas Perindustrian Kab. Malang 1992 s/d 1996 (RPWSI3K, Bappeda Kab. Malang, hal; 28).

 
Menurut data dari Dinas Perindustrian kabupaten Malang, terdapat perbedaan angka yang cukup berarti bila dibandingkan dengan data dari Daftar Isian Potensi Desa Junrejo kota Administratif Batu tahun 1994/1995, akan tetapi dari data tersebut dapat di lihat suatu kecenderungan yang cukup potensial bagi pengembangan usaha kerajinan kayu.
 
[Ke atas]
 


4. Permasalah Pengembangan

Pengembangan industri kerajinan kayu di Desa Junrejo sebagai sentra industri, saat ini telah terbentuk kelompok-kelompok usaha seperti Kelompok Rimba Jaya, Kelompok Binaan KUD, kelompok Binaan Pegadaian, bahkan masih ada pengrajin yang belum masuk dari salah satu kelompok. Secara organisatoris keanggotaan kelompok ini belum mapan artinya didapati banyak pengrajin yang menjadi anggota lebih dari satu kelompok. Menurut pengrajin yang belum masuk menjadi anggota kelompok mereka merasa belum merasa perlu dan melihat manfaat secara langsung bila menjadi salah satu anggota kelompok.

Secara umum kinerja kelompok masih belum mapan hal ini dikarenakan belum adanya ADART kelompok yang mengatur jalannya organisasi kelompok. Sebagai akibat dari belum adanya tertib organisasi kelompok maka kekompakan kelompok masih menjadi salah satu kendala bagi operasionalisasi usaha bersama kelompok. Usaha bersama kelompok yang sekarang sudah dirintis adalah pengadaan bahan baku, yang dipasok dari perum Perhutani. Dari hasil pertemuan dengan para kelompok perajin, telah disepakati bersama antara anggota dan pengurus dengan dibimbing Tim Peneliti akan melakukan pembenahan organisasi kelompok, serta merintis usaha bersama kelompok dalam bentuk peningkatan jangkauan pasar dengan pemasokan produk secara kolektif untuk menghindarkan persaingan harga yang tidak sehat.

Permasalahan pembinaan melalui pendekatan kelompok ini yang perlu mendapatkan penanganan pembinaan dan pengembangannya adalah permasalah:

     
     
 [Ke atas]

[ Ke Halaman Muka]
  
 
Tentang Peneliti
Peneliti
 
Sistem Kelembagaan
Kelembagaan
Model Inkubator Eksternal
Perajin
Profil Desa Binaan
Desa
Sistem Pelatihan
Pembinaan
Try out Model
Material
Pemasaran Produk Binaan Pemasaran
Hasil Binaan 
Hasil